Friday, June 18, 2010

Kutinggalkan Hidupku Bersamanya

Pada tengah malam kuputuskan untuk berhenti sejenak di tempat ini sambil mengisi bahan bakar untuk mobilku. Kuperkirakan nanti subuh aku akan sampai di tujuan. Meskipun lelah, kurasa aku tak boleh menyerah.

Mataku menangkap sesuatu. Kuperhatikan lekat ibu itu dari jauh. Di usianya yang kian senja itu, dia tetap bekerja hingga larut seperti ini. Kuperhatikan dagangannya sepertinya masih tak tersentuh.
Akhirnya kupustuskan untuk keluar dari kereta sejenak. Kuhampiri ibu itu.

"Jual apa Bu?"

"Sega uduk, Nak." Logat Jawa yang cukup khas.

"Saya beli satu bungkus ya Bu."

"Iya."

"Ibu, malam-malam begini kok masih bekerja?"

"Ibu sudah ndak punya siapa-siapa nak. Ibu harus mencukupi kubutuhuan sendiri. Makanya ibu jualan nasi."

"Memangnya anak-anak Ibu kemana?"

"Anak ibu wes 'ra di sini lagi. Wes lunga 'ra bali-bali."

Hatiku terenyuh. Aku juga begitu.. Mak, apakah engkau baik-baik saja? Apakah engkau juga masih menjajakan nasi seperti ibu ini? Maafkan aku, mak..

"Ini nak nasinya."

Lamunanku terpecah. "Oh iya Bu. Ini uangnya."

"Lho nak! Ini kebanyakan! Iki satus ewu?" Ibu itu tampak kaget dan bingung. Mungkin dalam seumur hidupnya tak pernah sekalipun uang itu berada di tangannya.

"Iya Ibu. Nggak apa-apa. Ambil saja. Buat kebutuhan ibu."

"Ya Allah Gusti.. Alhamdulillah.. Matur suwun, Nak." Kulihat samar ada setitik air mata dari pelupuknya.

"Sama-sama ibu. Saya permisi dulu."

Dan itulah terakhir kalinya aku bertemu dengan ibu tua itu.

***

Aku mau pergi Mak! Aku ndak kuat hidup seperti ini! Aku ora arepe mulih nganti aku bisa nggawakake Mak dhuwit sing akeh! Aku ora mulih nganti bisa numbasake Mak omah apik!

Ya, Mak. Sepuluh tahun berselang semenjak aku pergi dari Mak.
Aku telah menjalani hidup yang bahkan tidak terbayangkan oleh orang lain. Siksaan, cercaan, makian, hinaan, dan pelecehan. Semua sudah kualami Mak. Anakmu ini menghamba pada yang lain, mengais untuk sesuap nasi, hingga bekerja bagaikan mesin tak bernyawa namun dengan imbalan tak setimpal.
Namun lihat anakmu ini sekarang, Mak. Janji anakmu sudah ditepatinya.

Kuhembuskan napas yang panjang. Di awal hari ini, langit begitu cerah. Seperti apakah rupamu sekarang Mak? Masih ingatkah kau padaku?

Kubelokkan mobilku pada tikungan terakhir itu dan berhenti di depan jalan setapak. Ternyata jalan itu masih sama seperti dulu. Hanya itulah satu-satunya jalan masuk ke kampungku dulu itu.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap menuju kampung. Dimana kami, aku dan Mak, tinggal di sebuah rumah bambu.
Namun hatiku mengatakan ada sesuatu yang amat salah telah terjadi. Setelah beberapa puluh meter berjalan, aku tidak menemukan sebuah kampung pun. Seharusnya pada tempatku saat ini ada sebuah parit kecil dan tepat dihadapanku seharusnya kampungku sudah terlihat.
Namun parit ini tampaknya telah menjadi saluran kering tanpa air. Dan yang membuatku lebih tak nyaman lagi, yang kulihat di depanku bukanlah rumah-rumah bambu. Sama sekali bukan sebuah kampung. Melainkan jajaran pohon kamboja yang terlihat cukup rapat menaungi tanah-tanah dibawahnya.
Ya. Itu adalah sebuah... kuburan.
Pikiranku kacau. Bagaimana mungkin kampungku diubah menjadi pemakaman?
Aku berlari memutar pemakaman. Seharusnya ada sungai dan sawah di sana.
Ya benar. Kutemukan areal persawahan dan sungai terlihat disana. Lalu kemana kampungku pergi?
Aku berlari kembali menuju ke dalam mobil. Aku bingung. Jantungku berdebar keras. Berjuta pertanyaan berputar-putar di kepalaku. Kemana kampunku? Kemana Mak?
Ya Tuhan, ada apa ini?

tok tok tok.

Aku kaget. Terlihat seorang bapak tua dengan sepeda butut mengetuk mobilku.

"Permisi Nduk."

"Ada apa ya Pak?"

"Ndak. Cuma dungaren wae kok ada mobil bagus ana ning kene. Seumur-umur di tempat ini, baru kali ini ada orang yang ke sini."

Pikiranku berputar. Langsung kubalas bapak itu dengan pertanyaan.

"Bapak, kampung yang ada di sebelah situ kok nggak ada? Bukannya ada kampung ya di situ?" Kutunjuk arah jalan setapak itu.

Ekspresi wajah bapak itu terlihat aneh. Sulit ditebak. Campuran antara kosong, bingung dan sedih.

"Pak?" pintaku lagi.

Perlahan bapak itu berbicara. "Konon dulu ada seorang ibu tua yang tinggal sendirian di kampung itu. Kata orang, dia ditinggal lunga anake. Lha suatu hari, pas malam-malam, rumahnya ibu itu kobongan dan apinya merambat ke rumah orang-orang sekampung. Cuma beberapa orang thok yang selamet. Mangkane kuwi sekarang tempat itu dijadikan makam. Korbannya langsung dikubur di situ."

Aku merasa mual. Lututku lemas.

"Kebakaran, Pak? Kok bisa?" tanyaku lirih.

"Iya kebakaran. Katanya beberapa orang yang selamat, ibu itu ketiduran pas masak sega buat dijual besoknya."

Lidahku kelu. Tanpa kuucap sepatah kata lagi atau bahkan terima kasih, kututup jendela mobilku dan kupacu mobilku sekencang-kencangnya. Kutinggalkan tempat itu. Kutinggalkan hidupku bersamanya..

0 comments:

Post a Comment