Wednesday, October 28, 2009

...ketika Sang Bintang mengakhiri hidupnya.


... bahkan kau telah terpana olehnya. Setiap malam kau posisikan dirimu diatas situ. Semuanya demi kau pakukan tatapanmu ke antariksa, demi memandangnya, memandang bintangmu. Bintang yang selalu menerangi malammu.
Kau selalu mengeluh ketika angkasa menggantungkan tirani kelabunya di langit malammu. Pada akhirnya kau jadi membenci hujan yang menyebabkan kau tak dapat menatapinya, mengasihinya.
Namun malam ini entah mengapa sangatlah berbeda. Kutangkap dari sudut mataku engkau sungguh tak biasa. Bahkan tadi ketika senja belum meninggalkan kaki langit, engkau telah siaga memakukan tatapanmu ke antariksa, dunia gemerlapmu. Seolah kau mencari-cari bintangmu itu yang nyata-nyata selalu hadir untukmu di setiap malam.
Tadinya ingin kubiarkan engkau tetap bermain-main. Lagi. Seperti biasanya. Namun tak bisa kutahan diri ini untuk tidak mendekatimu, yang di tengah malam ini tak bergeming melihat bintang bagaikan orang yang tak waras.
"Apakah engkau ingin benar-benar jadi tak waras?" tuntutku pelan.
"Inilah saat dia mengakhiri hidup," sekonyong-konyong engkau terlihat begitu cemas. Cemas yang tertutup selubung dingin. Dingin malam. Dingin hatimu. Dingin yang memaksaku menatap titik mungilmu di atas sana.. Memaksaku memahami.
Titik yang sangat megah dan mewah. Sangat membius. Pancarnya yang begitu menyilaukan. Mengagumkan. Begitu terang. Tak akan ada yang mungkin menolak menatapnya. Tidak juga aku. Tidak pula engkau, meski kelu kau dibuatnya.
"Massanya telah habis," kuutarakan ketakjuban yang mengerikan ini.
"Materinya sudah tak mampu membentuk dan..."
"...memancar..."
"...dan menyebar."
"Dan hingga terangnya memuai begitu memukau, ..."
"...dia lenyap. Tak berbekas."
"Selamanya."
"Inilah akhirnya."

"Supernova."

...dan titik magis itu hilang dari semesta seiring menetesnya sebuah titik dari pelupukmu.